Panorama Pura Meru Cakranegara. A4. Cat air pada kertas teh. [ Addopted ] |
Sebuah pura dengan pekarangan yang luas berdiri di sebelah selatan Taman Mayura di Cakranegara, Lombok. Di halamannya yang paling dalam dan yang paling suci, berdiri tiga meru dengan jumlah atap yang berbeda-beda. Dulu, pura ini berdiri di pusat ibu kota sebuah kerajaan besar –penguasa seluruh Lombok yang disebut Tjakranegara ( roda pemerintahan ). Ia menjadi saksi bagaimana kekuatan keluarga disatukan, perbedaan antar bangsa diatasi, dan berakhir pada pedih getirnya kejatuhan sebuah dinasti.
Masih berdiri tegak
hingga kini, Pura Meru.
Pemersatu
Keluarga
Pura Meru atau
Miru, dibangun pada masa Kerajaan Singasari-Karangasem pada tahun 1774 (ada
yang bilang 1720 ) sebagai tempat sembahyang bersama bagi kerajaan-kerajaan
Bali yang ada di Lombok. Kerajaan-kerajaan itu antara lain adalah Mataram,
Pagesangan, Pagutan, Singasari, dan Sengkongo. Keberadaan pura besar dan
persembahyangan bersama itu dimaksudkan untuk memperkuat persatuan dan semangat
kekeluargaan di antara mereka.
Pada masa kerajaan Mataram, seiring dengan
kekuasaannya yang mendominasi seluruh Lombok, raja Anak Agung Made Karangasem (
berkuasa 1850-1872 ) melakukan renovasi pada Pura Meru. Renovasi besar-besaran
itu melibatkan masyarakat Lombok dari 33 desa. Untuk mengingat itu sampai saat
ini, terdapat 33 sanggah (tempat pemujaan) berwarna putih masih berdiri di
mandala utama sebagai simbol untuk 33 desa tersebut yang bersatu dan guyub
dalam ngayah-kerja bakti merenovasi Pura Meru.
Pemersatu Dua Bangsa
Pura Meru ~ travel.detik.net
Di pojok barat daya komplek pura itu ada sebuah
masjid yang kini berkubah dengan dua menara menjulang. Bangunannya dicat putih
dan krem, kontras dengan bata merah komplek Pura Meru. Masjid Nurul Falah
namanya. Itu adalah masjid yang dibangun
oleh Raja Lombok, Anak Agung Gde Ngurah Karangasem untuk istrinya yang muslim,
Denda Aminah.
Pada Desember tahun 1855, timbul konflik di
Kalijaga, Lombok Timur. Para pembesar Sasak di daerah itu dihasut dengan
sentimen keagamaan untuk memberontak pada raja. Merespon ini, raja Lombok Anak
Agung Made Karangasem (berkuasa 1850-1872) memimpin sendiri 30.000 pasukannya
untuk memadamkan pemberontakan itu dan ia sukses besar. Ia kemudian menghukum mati
para pemimpin pemberontak dan bertekad
untuk mengejar mereka yang melarikan diri hingga ke pulau Sumbawa. Sejak saat
itu hubungan antara Kalijaga dan Mataram menjadi renggang. Masing-masing pihak
saling mengawasi dan meningkatkan kewaspadaan.
Kondisi semacam ini menjadi perhatian serius putra
mahkota. Saat naik tahta kelak, ia tidak ingin mewarisi konflik berdasar
sentimen keagamaan semacam itu yang tentunya akan berlarut-larut dan
sewaktu-waktu bisa pecah dimana saja di seluruh Lombok.
Sebelum naik tahta, putra mahkota Anak Agung
Gde Ngurah Karangasem (berkuasa 1872-1894) berpikir keras bagaimana agar
masyarakat Bali yang Hindu dan masyarakat Sasak yang muslim dapat bersatu.
Untuk itu beliau bersembahyang dan melakukan samadi di Pura Batu Bolong di
pesisir pantai Lombok bagian barat. Sepanjang masa semadinya itu, pada suatu
malam beliau bermimpi bahwa rembulan jatuh ke pangkuannya. Meyakini mimpi itu
mengandung pesan, beliau menanyakan takwilnya kepada salah seorang pakar tafsir
mimpi dari Sakra, Haji Abu Bakar.
Menurut Haji Abu Bakar, seluruh Lombok akan
damai dan tentram bila Anak Agung Gde Ngurah menjalin tali pernikahan dengan salah
seorang putri keturunan Datu Selaparang (salah seorang pemimpin Sasak). Dalam
hal ini, hanya ada satu orang putri dengan kualifikasi seperti itu: Denda
Aminah, putri bangsawan Sasak dari Kalijaga.
Anak Agung Gde Ngurah menyambut baik petunjuk
itu terlebih lagi Denda Aminah berasal dari Kalijaga. Tali pernikahan ini dapat
mendamaikan kembali hubungan Mataram dengan Kalijaga. Selain daripada itu,
kehadiran seorang putri muslim di puri tentunya dapat menjadi mitra diskusi
beliau untuk mengetahui apa tepatnya yang diinginkan oleh mayoritas warga
muslim Sasaknya. Atas petunjuk itulah maka pada sekira tahun 1860 Anak Agung
Gde Ngurah Karangasem menikah dengan Denda Aminah. Setelah menikah dengan Anak
Agung Gde Ngurah Karangasem, Denda Aminah mendapatkan nama istana Denda Nawangsasih
yang kurang lebih bermakna “dia yang diketahui melalui mimpi rembulan”.
Takwil
mimpi Haji Abu Bakar terbukti sahih.
Kehadiran Denda Aminah dalam rumah tangga
istana menentramkan raja dan memberi nuansa damai pada masa pemerintahannya. Masa
pemerintahannya diliputi kedamaian dan ketentraman karena toleransinya yang
tinggi dan kebijakan-kebijakannya diterima oleh warganya yang terdiri dari
beragam bangsa. Bagi masyarakat Sasak yang muslim, raja memberi keluasan kepada
mereka untuk menjalankan agama dan mengembangkan ajarannya.
Guru-guru agama Islam diperkenankan memberikan
pengajaran di dalam puri. Terlebih putra mahkota Anak Agung Anglurah Ktut
Karangasem yang terkenal santun juga mengikuti jejaknya: menikah dengan putri
Sasak muslim, Denda Fatimah putri Datu Mambalan. Pernikahan ini membuahkan cucu
raja yang diperkenankan memeluk agama Islam dan bahkan sempat menunaikan ibadah
haji: Imam Soemantri alias Datoe Pangeran ( wafat di Sukabumi, )
Di sebelah utara Taman Mayura di sebelah timur puri, dibangun
komplek yang diberi nama Stanbul. Di sini cucu raja Datoe Pangeran bersama
warga muslim lainnya berdiam dan mendapatkan pengajaran agama dari para guru
Islam terkemuka: Haji Yasin dari Kelayu dan Guru Bangkol dari Praya
Beliau membangun masjid besar di Ampenan (kota
pelabuhan) dan di Tjakranegara (ibukota). Pada masanya banyak tanah yang
diwakafkan untuk kepentingan sosial keagamaan. Beliau sendiri mewakafkan tanah
atas nama pribadi dan putra mahkota yang diperuntukkan bagi Masjid Sesela serta
sawah-sawah yang akan menunjang operasionalnya. Di dalam puri, beliau
mengangkat Sayid Abdullah, seorang keturunan Arab dan kepala pelabuhan Ampenan,
sebagai salah satu penasihat politiknya.
Lebih jauh lagi, raja bahkan mengatur kemudahan
bagi warga muslimnya yang ingin berangkat menunaikan ibadah haji ke Baitullah.
Beliau membuka perwakilan kerajaan di Jeddah yang dipimpin oleh Haji Majid
untuk menjamin perjalanan haji yang nyaman. Pada tahun 1874, beliau bahkan membangun
sebuah rumah di kawasan Ajyad, kota suci Makkah, untuk tempat singgah dan menginap bagi warga
Lombok yang naik haji.
Pernikahan raja Lombok dengan Denda Aminah
membuahkan seorang putri, Anak Agung Ayu Praba, yang menjadi martir istana
bersama para wanita keputren saat mereka menyerang bivak Belanda di Karang
Jangkong di tahun 1894 saat ekspedisi Belanda 1 ke Lombok.
Sampai hari ini, kita masih melihat masjid dan
pura itu berdiri dalam harmoni.
Saksi
Kejatuhan Dinasti
Sejak lama pemerintah Hindia Belanda mengincar
Lombok untuk dimasukkan ke dalam wilayah kekuasannya mengingat pulau itu kaya
akan hasil bumi dan perkiraan bahan tambang yang bernilai. Kenyataan bahwa raja
Lombok kaya raya, punya hubungan dagang yang mulus dengan pulau-pulau di
sekitarnya dan menjalin hubungan mesra dengan Inggris di Singapura, Batavia tak
rela. Jangan sampai pulau ini menjadi
sandungan bagi mereka dalam mengklaim diri sebagai penguasa seluruh kepulauan
di Hindia Belanda.
Untuk itu beragam intrik dilakukan untuk
menekan raja Lombok. Rangkaiannya panjang, melibatkan juga para bangsawan Sasak
yang berkirim surat kepada residen Belanda di Singaraja berisi penderitaan
rakyat sasak dan ketidakpuasan mereka pada kerajaan. Singkatnya, untuk “mengakhiri
penderitaan rakyat Sasak” dan mengadili “raja yang ingkar janji”, Batavia
mengirim ekspedisi militer ke Lombok.
Ekspedisi Lombok 1 dipimpin oleh Mayor Jendral
J.A. Vetter beserta wakilnya, Mayor Jendral P.P.H. Van Ham. Berangkat dari
Batavia pada 30 Juni 1894 dan sampai di perairan Ampenan Lombok pada 05 Juli
1894. Ekspedisi itu terdiri dari 7 armada perang, 12 kapal pengangkut, 3
batalyon infantry, 1 skuadron pasukan berkuda, 110 perwira, 2.300 serdadu, dan
20 narapidana dengan total kurang lebih 4.400 orang.
Singkatnya, rombongan ekspedisi ini kemudian
membuat bivak di tanah lapang di depan Pura Meru yang juga berada di depan
istana raja, Puri Ukir Kawi. Ini membuat pihak istana meningkatkan kewaspadaan
dan memperketat penjagaan di sekitar puri. Suasana menjadi tegang karena
penghuni puri yakin bahwa kehadiran Belanda memang semata-mata ialah ingin
menguasai Lombok sepenuhnya dan bukan sekedar menjadi juru damai antara raja
dan rakyat Sasak.
Untuk menuntaskan masalah antara Istana Mataram
dan rakyat Sasak, maka para pemimpin Sasak diundang oleh Mayor Jendral J.A.
Vetter ke Tjakranegara untuk turut menyaksikan penandatanganan perjanjian
antara raja dengan pemerintah kolonial yang mana poin-poinnya juga terkait
dengan mereka. Karena masih ragu dan mempertimbangkan keselamatan, mereka
menolak hadir. Baru pada undangan yang kedua mereka mengirimkan dua orang
utusan yang tiba di Tjakranegara pada malam 25 Agustus 1894. Keduanya, beserta
satu orang pengiring, kemudian ditempatkan di markas Belanda. Mereka adalah
Mami’ Mustiaji dari Kopang dan Raden Melaya Koesoema dari Masbagik.
Malam sebelum acara, diadakan pesta makan-minum
di pelataran bivak Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar Belanda dan pihak
Istana Mataram. Kedua utusan Sasak itu juga hadir. Namun di tengah-tengah pesta
mereka diam-diam keluar dari lokasi perjamuan. Keduanya berunding dan
menganggap tujuan mereka meminta bantuan kepada Belanda ternyata tidak seperti
yang mereka harapkan, yaitu kekuasaan Raja Bali dihapuskan dan Lombok
dikembalikan kepada orang-orang Sasak.
Karenanya mereka menyusun siasat untuk menggagalkan acara tersebut.
Keduanya kemudian menembakkan senapan secara bersamaan, satu menembak ke arah
puri, satunya lagi menyasar bivak Belanda.
Malam itu, sekitar pukul 23.00 tiba-tiba suara
senapan menyalak ke arah puri dari selatan Pura Meru. Pasukan kerajaan Mataram
yang berjaga di sepanjang tembok puri mengira diserang lebih dulu oleh pasukan
Belanda yang lantas membalas dengan tembakan bertubi-tubi ke arah bivak
Belanda. Hujan amunisi ini membuat pasukan Belanda kalang kabut. Demi melihat
banyak serdadu yang tewas dan terluka, mereka lantas memutuskan mundur dan
berlindung di dalam Pura Meru dengan meninggalkan persenjataan dan perbekalan
mereka di luar pura. Harapannya, pasukan bantuan dari Mataram akan datang
selekas mungkin.
Sehari semalam mereka bertahan di dalam Pura
Meru dalam keadaan yang amat menyedihkan. Sementara itu dua utusan Sasak yang
memicu pertempuran beserta satu pengiringnya itu sudah jauh melarikan diri.
Hujan peluru itu memakan korban 80 orang
terluka dan 12 orang tewas di pihak Belanda. Sampai siang, mereka mencoba
menunggu datangnya bala bantuan yang ternyata tak kunjung tiba. Di dalam Pura
Meru, pasukan Belanda ada yang berdiri, berbaring, atau berkumpul dalam
kelompok-kelompok. Pasukan yang menderita keletihan yang luar biasa mencoba
berbaring di bawah naungan atap atau di atas tumpukan daun kering. Jendral
P.P.H. Van Ham sendiri tampak dalam kondisi terbaring. Keadaan semakin gawat
karena di dalam pura tidak ada sumber air atau apapun yang dapat dimakan.
Korban tewas bertambah menjadi 16 orang sehingga kemudian sebuah lubang besar
digali untuk menguburkan para korban melalui upacara penghormatan yang penuh
haru dipimpin oleh Pendeta Ds. C. Rogge.
26 Agustus 1894 pukul 15.00, pasukan Belanda
mulai mundur perlahan—keluar dari Pura Meru untuk bergabung dengan pasukan
induk di Mataram. Mayor Jendral J.A. Vetter dan residen berangkat lebih dulu
bersama satu kompi prajurit disusul oleh yang lain. Melihat pergerakan mundur
ini, pasukan Kerajaan Mataram kembali menghujani mereka dengan tembakan
terutama di kawasan antara Pura Meru dan bivak Belanda.
Pendeta Ds. C. Rogge, pendeta Kristen yang
membersamai ekpedisi menggambarkan betapa sulit dan berbahayanya gerakan mundur
tentara Belanda yang dilakukan di bawah desingan peluru pasukan Mataram ini. Ia
menjadi saksi mata bagaimana Mayor Jendral P.P.H. Van Ham tumbang diterjang
peluru pasukan Mataram.
“Saya masih melihat jelas Mayor Jendral Van Ham
melewati saya dengan langkah tenang dan senapan di tangannya. Saya sempat
memberi hormat kepadanya dan ia berkata bahwa akan banyak lagi korban
berjatuhan. Lima menit kemudian saya sudah melihat ia terjatuh dan dipapah oleh
Sersan Visser dan seorang pembantunya. Dengan terkejut sekali saya membantu
membuka pakaiannya yang bersimbah darah, dengan hati-hati merebahkannya sambil
memanggil dokter. Tetapi sayang, dokter telah berangkat lebih dulu, sehingga
saya hanya dapat membalut lukanya dengan perban seadanya. Sewaktu membuka mata, ia bertanya: dimana ia luka.
Saya jawab di dada dan di kakinya. Waktu itu ia tampak tenang, saya letakkan ia
di atas tandu dan diangkut ke luar. Apa yang terjadi selanjutnya saya tidak
tahu”
Penulis Lombok Expeditie, W. Cool, menceritakan
bahwa rombongan yang menandu Jendral Van Ham dengan penuh perjuangan pada
akhirnya sampai di bivak Belanda di depan Pura Karang Jangkong. Pastur F. J. A.
Vogel – romo Katolik penyerta ekspedisi – masih sempat memberikan sakramen suci
pada saat-saat terakhirnya sampai kemudian Jendral Van Ham menghembuskan nafas
terakhirnya di pura itu. Jenazah Jendral
Van Ham dimakamkan di samping Pura Karang Jangkong dimana tugunya masih bisa
kita saksikan sampai hari ini.
Sampai pada akhirnya, untuk membalas ini pada
awal November 1894 pemerintah Hindia Belanda mengirim ekspedisi militer besar
yang menghancurkan Puri Ukir Kawi dan membuatnya rata dengan tanah. Mereka
merampas segala kekayaan raja dan mengasingkannya ke Batavia. Perang Lombok ini
menewaskan 2.000 orang Bali. Pada akhir November, Belanda terus menghancurkan
sisa kekuatan kerajaan Mataram yang tersisa dimana kegilaan itu berakhir dengan
penyearahan diri atau dilawan sampai mati melalui puputan di Sesari dan
Tohpati.
Di depan semua yang hancur dan mati, Pura Meru
tetap tegak berdiri menjadi saksi.
------------------------
Tentang Raja Lombok Mengatur Ibadah Haji dari Historia
Konservasi Cagar Budaya Pura Meru dari Kemdikbud.go.id
Cucu Raja Lombok , Imam Soemantri, dari artikel di Lombok Heritage Society
Perang Kalijaga, dari artikel di Lombok Heritage Society
Tanah Wakaf Raja, dari artikel di Lombok Heritage Society
Buku
Kupu-kupu Kuning yang Terbang di Selat Lombok, Anak Agung Ktut Agung, Upada Sastra: 1991
Pulau Lombok dalam Sejarah: Ditinjau dari Aspek Budaya , H. Lalu Lukman.