Minggu, 23 Oktober 2022

PURA MERU CAKRANEGARA

 

Panorama Pura Meru Cakranegara. A4. Cat air pada kertas teh. [ Addopted ]

Sebuah pura dengan pekarangan yang luas berdiri di sebelah selatan Taman Mayura di Cakranegara, Lombok. Di halamannya yang paling dalam dan yang paling suci, berdiri tiga meru dengan jumlah atap yang berbeda-beda. Dulu, pura ini berdiri di pusat ibu kota sebuah kerajaan besar –penguasa seluruh Lombok yang disebut Tjakranegara ( roda pemerintahan ). Ia menjadi saksi bagaimana kekuatan keluarga disatukan, perbedaan antar bangsa diatasi, dan berakhir pada pedih getirnya kejatuhan sebuah dinasti.

                Masih berdiri tegak hingga kini, Pura Meru.

                Pemersatu Keluarga

                Pura Meru atau Miru, dibangun pada masa Kerajaan Singasari-Karangasem pada tahun 1774 (ada yang bilang 1720 ) sebagai tempat sembahyang bersama bagi kerajaan-kerajaan Bali yang ada di Lombok. Kerajaan-kerajaan itu antara lain adalah Mataram, Pagesangan, Pagutan, Singasari, dan Sengkongo. Keberadaan pura besar dan persembahyangan bersama itu dimaksudkan untuk memperkuat persatuan dan semangat kekeluargaan di antara mereka. 

Pada masa kerajaan Mataram, seiring dengan kekuasaannya yang mendominasi seluruh Lombok, raja Anak Agung Made Karangasem ( berkuasa 1850-1872 ) melakukan renovasi pada Pura Meru. Renovasi besar-besaran itu melibatkan masyarakat Lombok dari 33 desa. Untuk mengingat itu sampai saat ini, terdapat 33 sanggah (tempat pemujaan) berwarna putih masih berdiri di mandala utama sebagai simbol untuk 33 desa tersebut yang bersatu dan guyub dalam ngayah-kerja bakti merenovasi Pura Meru. 

                                                               Pemersatu Dua Bangsa

Pura Meru ~ Detik.net
Pura Meru ~ travel.detik.net

Di pojok barat daya komplek pura itu ada sebuah masjid yang kini berkubah dengan dua menara menjulang. Bangunannya dicat putih dan krem, kontras dengan bata merah komplek Pura Meru. Masjid Nurul Falah namanya.  Itu adalah masjid yang dibangun oleh Raja Lombok, Anak Agung Gde Ngurah Karangasem untuk istrinya yang muslim, Denda Aminah.

Pada Desember tahun 1855, timbul konflik di Kalijaga, Lombok Timur. Para pembesar Sasak di daerah itu dihasut dengan sentimen keagamaan untuk memberontak pada raja. Merespon ini, raja Lombok Anak Agung Made Karangasem (berkuasa 1850-1872) memimpin sendiri 30.000 pasukannya untuk memadamkan pemberontakan itu dan ia sukses besar. Ia kemudian menghukum mati para pemimpin pemberontak dan  bertekad untuk mengejar mereka yang melarikan diri hingga ke pulau Sumbawa. Sejak saat itu hubungan antara Kalijaga dan Mataram menjadi renggang. Masing-masing pihak saling mengawasi dan meningkatkan kewaspadaan.  

Kondisi semacam ini menjadi perhatian serius putra mahkota. Saat naik tahta kelak, ia tidak ingin mewarisi konflik berdasar sentimen keagamaan semacam itu yang tentunya akan berlarut-larut dan sewaktu-waktu bisa pecah dimana saja di seluruh Lombok.

Sebelum naik tahta, putra mahkota Anak Agung Gde Ngurah Karangasem (berkuasa 1872-1894) berpikir keras bagaimana agar masyarakat Bali yang Hindu dan masyarakat Sasak yang muslim dapat bersatu. Untuk itu beliau bersembahyang dan melakukan samadi di Pura Batu Bolong di pesisir pantai Lombok bagian barat. Sepanjang masa semadinya itu, pada suatu malam beliau bermimpi bahwa rembulan jatuh ke pangkuannya. Meyakini mimpi itu mengandung pesan, beliau menanyakan takwilnya kepada salah seorang pakar tafsir mimpi dari Sakra, Haji Abu Bakar.

Menurut Haji Abu Bakar, seluruh Lombok akan damai dan tentram bila Anak Agung Gde Ngurah menjalin tali pernikahan dengan salah seorang putri keturunan Datu Selaparang (salah seorang pemimpin Sasak). Dalam hal ini, hanya ada satu orang putri dengan kualifikasi seperti itu: Denda Aminah, putri bangsawan Sasak dari Kalijaga.

Anak Agung Gde Ngurah menyambut baik petunjuk itu terlebih lagi Denda Aminah berasal dari Kalijaga. Tali pernikahan ini dapat mendamaikan kembali hubungan Mataram dengan Kalijaga. Selain daripada itu, kehadiran seorang putri muslim di puri tentunya dapat menjadi mitra diskusi beliau untuk mengetahui apa tepatnya yang diinginkan oleh mayoritas warga muslim Sasaknya. Atas petunjuk itulah maka pada sekira tahun 1860 Anak Agung Gde Ngurah Karangasem menikah dengan Denda Aminah. Setelah menikah dengan Anak Agung Gde Ngurah Karangasem, Denda Aminah mendapatkan nama istana Denda Nawangsasih yang kurang lebih bermakna “dia yang diketahui melalui mimpi rembulan”.

 Takwil mimpi Haji Abu Bakar terbukti sahih.

Kehadiran Denda Aminah dalam rumah tangga istana menentramkan raja dan memberi nuansa damai pada masa pemerintahannya. Masa pemerintahannya diliputi kedamaian dan ketentraman karena toleransinya yang tinggi dan kebijakan-kebijakannya diterima oleh warganya yang terdiri dari beragam bangsa. Bagi masyarakat Sasak yang muslim, raja memberi keluasan kepada mereka untuk menjalankan agama dan mengembangkan ajarannya.

Guru-guru agama Islam diperkenankan memberikan pengajaran di dalam puri. Terlebih putra mahkota Anak Agung Anglurah Ktut Karangasem yang terkenal santun juga mengikuti jejaknya: menikah dengan putri Sasak muslim, Denda Fatimah putri Datu Mambalan. Pernikahan ini membuahkan cucu raja yang diperkenankan memeluk agama Islam dan bahkan sempat menunaikan ibadah haji: Imam Soemantri alias Datoe Pangeran ( wafat di Sukabumi, )

Di sebelah utara  Taman Mayura di sebelah timur puri, dibangun komplek yang diberi nama Stanbul. Di sini cucu raja Datoe Pangeran bersama warga muslim lainnya berdiam dan mendapatkan pengajaran agama dari para guru Islam terkemuka: Haji Yasin dari Kelayu dan Guru Bangkol dari Praya

Beliau membangun masjid besar di Ampenan (kota pelabuhan) dan di Tjakranegara (ibukota). Pada masanya banyak tanah yang diwakafkan untuk kepentingan sosial keagamaan. Beliau sendiri mewakafkan tanah atas nama pribadi dan putra mahkota yang diperuntukkan bagi Masjid Sesela serta sawah-sawah yang akan menunjang operasionalnya. Di dalam puri, beliau mengangkat Sayid Abdullah, seorang keturunan Arab dan kepala pelabuhan Ampenan, sebagai salah satu penasihat politiknya.

Lebih jauh lagi, raja bahkan mengatur kemudahan bagi warga muslimnya yang ingin berangkat menunaikan ibadah haji ke Baitullah. Beliau membuka perwakilan kerajaan di Jeddah yang dipimpin oleh Haji Majid untuk menjamin perjalanan haji yang nyaman. Pada tahun 1874, beliau bahkan membangun sebuah rumah di kawasan Ajyad, kota suci Makkah,  untuk tempat singgah dan menginap bagi warga Lombok yang naik haji.

Pernikahan raja Lombok dengan Denda Aminah membuahkan seorang putri, Anak Agung Ayu Praba, yang menjadi martir istana bersama para wanita keputren saat mereka menyerang bivak Belanda di Karang Jangkong di tahun 1894 saat ekspedisi Belanda 1 ke Lombok.

Sampai hari ini, kita masih melihat masjid dan pura itu berdiri dalam harmoni.

 

Saksi Kejatuhan Dinasti

Sejak lama pemerintah Hindia Belanda mengincar Lombok untuk dimasukkan ke dalam wilayah kekuasannya mengingat pulau itu kaya akan hasil bumi dan perkiraan bahan tambang yang bernilai. Kenyataan bahwa raja Lombok kaya raya, punya hubungan dagang yang mulus dengan pulau-pulau di sekitarnya dan menjalin hubungan mesra dengan Inggris di Singapura, Batavia tak rela.  Jangan sampai pulau ini menjadi sandungan bagi mereka dalam mengklaim diri sebagai penguasa seluruh kepulauan di Hindia Belanda.

Untuk itu beragam intrik dilakukan untuk menekan raja Lombok. Rangkaiannya panjang, melibatkan juga para bangsawan Sasak yang berkirim surat kepada residen Belanda di Singaraja berisi penderitaan rakyat sasak dan ketidakpuasan mereka pada kerajaan. Singkatnya, untuk “mengakhiri penderitaan rakyat Sasak” dan mengadili “raja yang ingkar janji”, Batavia mengirim ekspedisi militer ke Lombok.   

Ekspedisi Lombok 1 dipimpin oleh Mayor Jendral J.A. Vetter beserta wakilnya, Mayor Jendral P.P.H. Van Ham. Berangkat dari Batavia pada 30 Juni 1894 dan sampai di perairan Ampenan Lombok pada 05 Juli 1894. Ekspedisi itu terdiri dari 7 armada perang, 12 kapal pengangkut, 3 batalyon infantry, 1 skuadron pasukan berkuda, 110 perwira, 2.300 serdadu, dan 20 narapidana dengan total kurang lebih 4.400 orang. 

Singkatnya, rombongan ekspedisi ini kemudian membuat bivak di tanah lapang di depan Pura Meru yang juga berada di depan istana raja, Puri Ukir Kawi. Ini membuat pihak istana meningkatkan kewaspadaan dan memperketat penjagaan di sekitar puri. Suasana menjadi tegang karena penghuni puri yakin bahwa kehadiran Belanda memang semata-mata ialah ingin menguasai Lombok sepenuhnya dan bukan sekedar menjadi juru damai antara raja dan rakyat Sasak.

Untuk menuntaskan masalah antara Istana Mataram dan rakyat Sasak, maka para pemimpin Sasak diundang oleh Mayor Jendral J.A. Vetter ke Tjakranegara untuk turut menyaksikan penandatanganan perjanjian antara raja dengan pemerintah kolonial yang mana poin-poinnya juga terkait dengan mereka. Karena masih ragu dan mempertimbangkan keselamatan, mereka menolak hadir. Baru pada undangan yang kedua mereka mengirimkan dua orang utusan yang tiba di Tjakranegara pada malam 25 Agustus 1894. Keduanya, beserta satu orang pengiring, kemudian ditempatkan di markas Belanda. Mereka adalah Mami’ Mustiaji dari Kopang dan Raden Melaya Koesoema dari Masbagik.

Malam sebelum acara, diadakan pesta makan-minum di pelataran bivak Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar Belanda dan pihak Istana Mataram. Kedua utusan Sasak itu juga hadir. Namun di tengah-tengah pesta mereka diam-diam keluar dari lokasi perjamuan. Keduanya berunding dan menganggap tujuan mereka meminta bantuan kepada Belanda ternyata tidak seperti yang mereka harapkan, yaitu kekuasaan Raja Bali dihapuskan dan Lombok dikembalikan kepada orang-orang Sasak.  Karenanya mereka menyusun siasat untuk menggagalkan acara tersebut. Keduanya kemudian menembakkan senapan secara bersamaan, satu menembak ke arah puri, satunya lagi menyasar bivak Belanda.

Malam itu, sekitar pukul 23.00 tiba-tiba suara senapan menyalak ke arah puri dari selatan Pura Meru. Pasukan kerajaan Mataram yang berjaga di sepanjang tembok puri mengira diserang lebih dulu oleh pasukan Belanda yang lantas membalas dengan tembakan bertubi-tubi ke arah bivak Belanda. Hujan amunisi ini membuat pasukan Belanda kalang kabut. Demi melihat banyak serdadu yang tewas dan terluka, mereka lantas memutuskan mundur dan berlindung di dalam Pura Meru dengan meninggalkan persenjataan dan perbekalan mereka di luar pura. Harapannya, pasukan bantuan dari Mataram akan datang selekas mungkin.

Sehari semalam mereka bertahan di dalam Pura Meru dalam keadaan yang amat menyedihkan. Sementara itu dua utusan Sasak yang memicu pertempuran beserta satu pengiringnya itu sudah jauh melarikan diri.

Hujan peluru itu memakan korban 80 orang terluka dan 12 orang tewas di pihak Belanda. Sampai siang, mereka mencoba menunggu datangnya bala bantuan yang ternyata tak kunjung tiba. Di dalam Pura Meru, pasukan Belanda ada yang berdiri, berbaring, atau berkumpul dalam kelompok-kelompok. Pasukan yang menderita keletihan yang luar biasa mencoba berbaring di bawah naungan atap atau di atas tumpukan daun kering. Jendral P.P.H. Van Ham sendiri tampak dalam kondisi terbaring. Keadaan semakin gawat karena di dalam pura tidak ada sumber air atau apapun yang dapat dimakan. Korban tewas bertambah menjadi 16 orang sehingga kemudian sebuah lubang besar digali untuk menguburkan para korban melalui upacara penghormatan yang penuh haru dipimpin oleh Pendeta Ds. C. Rogge.

26 Agustus 1894 pukul 15.00, pasukan Belanda mulai mundur perlahan—keluar dari Pura Meru untuk bergabung dengan pasukan induk di Mataram. Mayor Jendral J.A. Vetter dan residen berangkat lebih dulu bersama satu kompi prajurit disusul oleh yang lain. Melihat pergerakan mundur ini, pasukan Kerajaan Mataram kembali menghujani mereka dengan tembakan terutama di kawasan antara Pura Meru dan bivak Belanda.

Pendeta Ds. C. Rogge, pendeta Kristen yang membersamai ekpedisi menggambarkan betapa sulit dan berbahayanya gerakan mundur tentara Belanda yang dilakukan di bawah desingan peluru pasukan Mataram ini. Ia menjadi saksi mata bagaimana Mayor Jendral P.P.H. Van Ham tumbang diterjang peluru pasukan Mataram.

“Saya masih melihat jelas Mayor Jendral Van Ham melewati saya dengan langkah tenang dan senapan di tangannya. Saya sempat memberi hormat kepadanya dan ia berkata bahwa akan banyak lagi korban berjatuhan. Lima menit kemudian saya sudah melihat ia terjatuh dan dipapah oleh Sersan Visser dan seorang pembantunya. Dengan terkejut sekali saya membantu membuka pakaiannya yang bersimbah darah, dengan hati-hati merebahkannya sambil memanggil dokter. Tetapi sayang, dokter telah berangkat lebih dulu, sehingga saya hanya dapat membalut lukanya dengan perban seadanya. Sewaktu  membuka mata, ia bertanya: dimana ia luka. Saya jawab di dada dan di kakinya. Waktu itu ia tampak tenang, saya letakkan ia di atas tandu dan diangkut ke luar. Apa yang terjadi selanjutnya saya tidak tahu”

Penulis Lombok Expeditie, W. Cool, menceritakan bahwa rombongan yang menandu Jendral Van Ham dengan penuh perjuangan pada akhirnya sampai di bivak Belanda di depan Pura Karang Jangkong. Pastur F. J. A. Vogel – romo Katolik penyerta ekspedisi – masih sempat memberikan sakramen suci pada saat-saat terakhirnya sampai kemudian Jendral Van Ham menghembuskan nafas terakhirnya di pura itu.  Jenazah Jendral Van Ham dimakamkan di samping Pura Karang Jangkong dimana tugunya masih bisa kita saksikan sampai hari ini.

Sampai pada akhirnya, untuk membalas ini pada awal November 1894 pemerintah Hindia Belanda mengirim ekspedisi militer besar yang menghancurkan Puri Ukir Kawi dan membuatnya rata dengan tanah. Mereka merampas segala kekayaan raja dan mengasingkannya ke Batavia. Perang Lombok ini menewaskan 2.000 orang Bali. Pada akhir November, Belanda terus menghancurkan sisa kekuatan kerajaan Mataram yang tersisa dimana kegilaan itu berakhir dengan penyearahan diri atau dilawan sampai mati melalui puputan di Sesari dan Tohpati.

Di depan semua yang hancur dan mati, Pura Meru tetap tegak berdiri menjadi saksi.

------------------------

Tentang Raja Lombok Mengatur Ibadah Haji dari Historia  

Konservasi Cagar Budaya Pura Meru dari Kemdikbud.go.id 

Cucu Raja Lombok , Imam Soemantri, dari artikel di Lombok Heritage Society  

Perang Kalijaga, dari artikel di Lombok Heritage Society 

Tanah Wakaf Raja, dari artikel di Lombok Heritage Society 

Buku 

Kupu-kupu Kuning yang Terbang di Selat Lombok, Anak Agung Ktut Agung, Upada Sastra: 1991

Pulau Lombok dalam Sejarah: Ditinjau dari Aspek Budaya , H. Lalu Lukman. 



Minggu, 13 Agustus 2017

PANORAMA KOTA PLERED

          
             Plered merupakan salah satu kota dari rangkaian ibukota Mataram Islam yang dikatakan paling indah dan paling cantik. Saya seringkali membayangkan jika seandainya kota ini bertahan sampai detik ini, dengan baluwarti dan tata kotanya yang dikelilingi rangkaian bunga air, niscaya dia akan mewarisi kemegahan Trowulan dan bakal menjadi ibukota kerajaan yang paling eksotis dan mengagumkan se tanah Jawa ( mungkin ).

Betapa tidak?, bayangkanlah sebuah kota tradisional Jawa dengan gemericik air yang mengalir di kanal-kanal yang mengelilinginya, diselingi  perkampungan penduduk atau hamparan sawah-sawah maha luas dan kebun-kebun yang hijau. Tambahi itu semua dengan keberadaan Segoroyoso, anugerah dibendungnya sungai Opak sehingga membentuk laut buatan di sebelah selatan istana raja. Bukankah jika pagi menjelang maka kabut akan meruap di seluruh kota dan penduduknya akan bangkit dalam kesegaran yang kece?!

Kota Penuh Kutukan
 
“Dan takutlah kalian kepada doa kutuk orang yang terdzhalimi”

                        (Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa sallam)

Plered dibangun oleh Susuhunan Amangkurat I atau Amangkurat Agung (1645-1677). Berbeda dengan ayahnya, Sultan Agung Hanyakrakusuma yang bertahta di keraton sederhana di daerah Kerta, Amangkurat I menghendaki ibukota baru yang keren dan mentereng. Jangan pikir pada masa itu sudah ada korporesyen dengan para insinyur, arsitek, sekaligus pekerja handal yang siap mewujudkan keinginan kliennya. Dengan  tangan besi diperintahlah rakyatnya untuk melaksanakan apa yang diingikannya dan menjadikan mereka sebagai bantalan kaki ambisi pembangunan ibukota baru yang dicita-citakannya.
Setelah rampung, ibukota baru itu memang indah.

Kedzhaliman part I : Doa Kutuk Rakyat Jelata

Tapi tahukah kalian bahwa tembok bata yang dikatakan oleh Babad Mamona berbentuk belah ketupat setinggi 5-6 m dengan ketebalan 1,5 m, dengan bata merah dan batu alam putih itu dibangun dengan cucuran darah dan air mata rakyat jelata Mataram?  Diambil paksa dari kampung halamannya yang tercinta, dipekerjakan di ibukota dengan sedikit sekali waktu jeda, mencetak batu bata yang ukurannya tidak biasa, menyusunnya satu demi satu, dicambuki dan dicaci maki. Jangankan upah harian atau bulanan sesuai UMR, buat jajan sepeserpun tak ada.  Memendam rindu pada ternak, sawah, ladang, dan keluarga. Apatah lagi yang bisa dilakukan kecuali bersabar atau jika sudah tak kuasa maka menengadahkan tangan lalu menjatuhkan kutuk dalam doa?

Kedzhaliman part II : Doa Kutuk Para Ulama

Pangeran Alit, anggota keluarga kerajaan, adik Amangkurat I sendiri yang dikatakan alim dan bersahaja menentang kesewenang-wenangan abangnya. Sebelum ini Mas-nya sudah membantai kurang lebih 3000 bawahan senior mendiang ayah mereka demi menjamin tidak adanya bisik-bisik perlawanan pada sang raja, lalu kini menindas rakyat sendiri tanpa berpikir tentang keluhuran budi dan dosa. Bukankah ayah tercinta mereka dikenal dengan nama Sultan Agung karena kebesaran dan keluhuran pribadinya sehingga dicintai para kawula?
Bangkitlah Pangeran Alit melawang sang kakak, didukung penuh ribuan alim ulama yang bersimpati dan tak kuasa menyaksikan rakyat kecil penuh derita. Sayangnya Amangkurat I terlalu licin untuk digulingkan. Pangeran Alit ditangkap dan di bunuh didepan sang kakak disaat ia sudah sampai di antara alun-alun utara dan gerbang istana. Jasadnya dikebumikan di pemakaman Banyusumurup, kuburan para pemberontak dan penentang raja. Seiring peristiwa itu Amangkurat I murka bukan kepalang. Mengesampingkan kedzhalimannya sendiri sebagai sebab utama penentangan adiknya, ia menuduh para ulama sebagai pupuk pada benih pemberontakan. Ia lantas menciduk paksa sekitar lima sampai enam ribu ulama berikut keluarga mereka. Babad Tanah Jawi menceritakan dengan sedih bagaimana mereka dikumpulkan di alun-alun kota Plered lantas ditebas batang leher mereka sehingga menggelindinglah kepala-kepala bersurban disertai ratap tangis keluarga yang juga akan dieksekusi setelahnya. Siapa yang menjamin bahwa tidak ada doa kutuk yang dipanjatkan di lapangan penuh kepala dan darah itu?
Ironisnya, sang raja menyaksikan semuanya tanpa berpikir tentang dosa.

Kedzhaliman part III : Doa Kutuk Wanita Istana

Keindahan Plered dibarengi dengan hasrat Sang Raja akan keindahan wanita. Kisah-kisah tragis justru muncul dari hasrat sang raja dalam tema kaum hawa. Bagaimana ia merebut Nyai Truntum, sinden ternama bersuara cemerlang dari suaminya yang seorang dalang kondang, Ki Panjang Mas.
Terpesona pada kecantikan dan terperdaya bisik-bisik para pembisik aka penjilatnya yang mengatakan bahwa wibawa sang sinden dapat mengukuhkan tahtanya, ia merencakan pagelarang wayang semalam suntuk di istana dengan menghadirkan dalang Ki Panjang Mas beserta nyonya sebagai sindennya. Konon, lakon yang dibawakan pada malam itu adalah lakon yang tidak boleh berhenti saat dimainkan, walau apapun yang terjadi. Jadilah malam itu wayang dimainkan dan skenario malam perebutan istri orang itu berjalan. Lewat tengah malam lampu minyak yang menyala di atas Sang Dalang mendadak jatuh dan saat itulah “walau apapun yang terjadi” mengakhiri hayat Ki Panjang Mas beserta para pengrawitnya yang teguh mengiringi Ki Panjang Mas sampai nafas terakhir.
Walhasil Nyai Truntum akhirnya jatuh ke pelukan Amangkurat I dan digelari Ratu Wetan. Keberadaanya di istana sebagai ratu sekaligus sinden yang teguh memelihara keluhuran etika dan budaya Jawa, plus kecantikan yang mempesona tiada tara membuat sang raja betah berlama-lama di sisinya.
 Lalu istri dan selir yang lain bagaimana?
Ohooo terbitlah cemburu buta. Ratu Wetan digelari Ratu Malang yang bermakna ratu yang memalangi/menghalangi para wanita istana lain yang mencoba menarik perhatian sang raja. Sedihnya, beliau benar-benar menjadi ratu yang malang pula pada akhir hidupnya.
Persaingan para wanita istana demi menjamin kartu kedudukan mereka di sisi raja dan ketinggian derajat mereka di antara sesama kembang istana membuat intrik terjadi lagi. Ratu Malang mendadak berpulang ke rahmatullah. Para tabib istana yang diperintahkan meneliti sampel yang mereka ambil dari tubuh sang ratu mengindikasikan racun telah dibubuhkan pada sirih yang dipakai sang ratu untuk menginang. Jelas Amangkurat I murka luar biasa. Selama ini istananya dikelilingi para punggawa dan algojo setia, istananya memiliki sistem  keamanan tingkat tinggi untuk menghalangi segenap bencana dan serangan dari luar namun bencana itu justru muncul dari rumah tangganya sendiri.
Dengan urat leher dan panas di ubun-ubun, dengan titah-murkanya, diseretlah seratusan penghuni Keputren dan digelandang keluar istana. Tidak hanya itu, para punggawanya diperintahkan mencari siapa saja yang dicurigai terlibat dengan pembunuhan ini di seluruh kota lalu membawa mereka untuk bergabung dengan para wanita istana yang lantas dikurung di kuburan berhari-hari tanpa makan maupun minum sehingga mereka pelan-pelan mati kelaparan. Apakah bukan doa kutuk lagi yang dipanjatkan oleh mereka yang tidak bersalah?
Di sisi yang lain, banyak versi cerita yang agak scary berkaitan dengan polah Amangkurat I terhadap jenazah Ratu Malang. Konon ia tidak berkenan memakamkan jenazah Ratu Malang selama beberapa hari dan tetap tidur dengannya di peraduan seperti biasa. Setelah dimakamkan-pun, ia menolak pulang dan memilih tidur di samping makam sang istri sampai akhirnya ia mau pulang ke istana setelah dibujuk oleh pamannya yang wicaksana, Raden Purbaya (yang makamnya di Wotgaleh, deket bandara). Ada juga yang mengatakan bahwa ia mau pulang ke istana setelah bermimpi melihat Nyai Truntum sudah bertemu dan bersatu lagi dengan suaminya terdahulu, Ki Panjang Mas. Mereka berdua dimakamkan di Gunung Kelir dekat ibukota Plered yang jaringan kanal dan jalannya mencapai tempat itu juga.

                Kedzhaliman part IV: Doa Kutuk Keluarga

                Sepeninggal  Nyai Truntum, para penjilat yang melihat hari-hari sang raja yang bermuram durja membujuknya untuk mencari tambatan hati yang baru. Dicarilah dan setelah ketemu, dibawalah seorang gadis kecil peranakan Tionghoa bernama Rara Hoyi yang cantik jelita dari wilayah Kali Mas, Soerabaja. Yang membawa gadis itu bahkan adalah mertua sang raja sendiri dari istri pertamanya, beliau adalah Pangeran Pekik yang dihormati oleh warga Brang Wetan. Maka dipingitlah Rara Hoyi di Ndalem Wirarejan, rumah bangsawan Tumenggung Wirareja di luar tembok istana sampai nanti sang gadis matang dan siap untuk dihaturkan ke keraton.
                Sungguhlah memang jodoh itu di tangan Allah, Hayati...
                Justru Pangeran Adipati Anom, sang putra mahkota, anak kandung Sang Amangkurat sendiri yang jatuh hati pada calon ibu tirinya itu saat ia berkunjung ke Ndalem Wirarejan dan tanpa sengaja melihat gadis Cina itu tengah membatik. Saat sang pangeran muda Jawa beradu pandang dengan gadis muda Cina, maka jatuh hatilah sang pemuda dan mau-mau malu-lah sang gadis Cina dengan pipi bersemu merah lalu bangkit dan berlari kecil sambil menutup muka.
Perjumpaan singkat itu membuat bunga cinta di hati Pangeran Adipati Anom tumbuh liar bagai semak Edelweis sehingga ia kasmaran dan jatuh lara. Sakit wuyung kata orang Jawa. Pengennya ketemuan terus tapi tak mampu. Lagipula belum ada Wasap sehingga tidak bisa live chat. Kangen mau melihat wajah manisnya juga belum ada Instagram yang bisa discroll sesuka hati. Kalaupun di privat, tak apalah, kurela follow agar tiada sekat. Bukankah kalau sudah kadung cinta sirup marjan-pun berasa coklat?
Sakit itu bertambah parah setelah sang pangeran muda tamvan mengetahui bahwa gadis pujaannya adalah sengkeran alias simpanan ayahnya sendiri. Duh biyung bukankah yang muda cocoknya juga sama yang muda? Apakah ayahnya lupa umur atau bagaimana?!
Raden Ayu Wandansari, eyang putri sang pangeran, demi melihat kondisi sang cucu tercinta kemudian memohon kepada suaminya, Pangeran Pekik, agar sudilah kiranya memperkenankan Roro Hoyi diboyong ke Kesatrian (komplek tempat tinggal para pangeran) agar tinggal berdekatan dengan kediaman Pangeran Adipati Anom. Pangeran Pekik, sebagai eyang yang bijaksana dengan teduh menyetujui permintaan itu dengan pertimbangan bahwa sebagai seorang ayah, Amangkurat I sudah pasti mafhum dan mengalah. Bukankah “Ora ono macan arep tegel mangan gogore”? (Tidak ada harimau yang tega memangsa anak sendiri).
Sayang beribu sayang Amangkurat I bukan macan. Ia murka dan geram. Apalagi mengetahui bahwa Roro Hoyi membalas cinta putranya. Makin blingsatan dia. Di caci makilah mertuanya sendiri beserta rombongan keluarganya yang hadir di istana memohon izin perihal asmara Pangeran Adipati Anom dan Roro Hoyi. Ala Amangkurat I, vonis pun dijatuhkan. Hukuman mati. Mereka semua harus mati!. Pangeran Pekik, Tumenggung Wirareja, beserta enam puluh keluarga dan pengikutnya dieksekusi mati pada 21 Februari 1269. Jenazah mereka dimakamkan di Banyusumurup menyusul Pangeran Alit.
 Apakah ada doa kutuk lagi dari mereka yang tiada bersalah ini? Ah...
Pangeran Adipati Anom sendiri mendapat hukuman khusus untuk membunuh Rara Hoyi tercinta dengan keris pusakanya. Ini hukuman berat luar biasa. Bayangkanlah adegan penuh emosional saat sang pangeran beradu pandang dengan putri Cina yang dengan mata sembap menatap nanar pada keris yang terhunus di tangan sang kekasih. Kau bisa mendengar jerit hati Sang Pangeran dan teriakan jiwanya yang mengulang kembali memori lama saat mereka pertama kali berjumpa.
 “Dulu kutatap engkau dengan hati berbunga, dengan canting di tangan halusmu, alangkah pilunya kini kau tatap aku dengan hati kelabu, dengan keris terhunus di tangan kekarku”  
Lama Sang Pangeran tidak menuntaskan tugasnya sampai akhirnya Rara Hoyi sendiri yang bangkit, berlari, dan dengan ikhlas menubrukkan dirinya pada keris pusaka Pangeran Adipati Anom.. Tewaslah sang kekasih di tangan sang kekasih. Darahnya mengalir sepanjang kelokan keris lalu menganak sungai di lekuk urat tangan sang pangeran. Bukankah ia melihat sendiri dengan sangat dekat wajah sendu putri Cina itu di tarikan nafas terakhirnya?
Meledaklah tangisan dan penyesalan sang pangeran. Dipeluknya tubuh gadis yang dicintainya dengan sepenuh hati itu dengan lelehan air mata di pipi. Derita cinta jenis apalagi ini?! Kedzhaliman model apa lagi yang menusuk jiwa ini?!
Kalkulasikan saja doa kutuk dari banyak pihak ini!

Tahun 1665
Amangkurat I terpuruk. Jasmaninya sakit, rohaninya juga. Di usia 50 tahun dimana semestinya ia sudah menjadi raja yang wicaksana namun apa yang terjadi malah sebaliknya. Beragam peristiwa yang melibatkan kekejaman dan kenyelenehan pola pikirnya berakibat buruk pada gaya hidupnya. Ia malah makin gemar menjatuhkan hukuman kejam, sabung ayam, berjalan-jalan belaka, dan yang paling epic adalah main layangan. Bahkan ada kejadian dimana layang-layangnya tersangkut pohon di alun-alun utara sehingga dengan entengnya ia memerintahkan agar semua pohon beringin dan pinus yang mengganggu layangannya ditebang saja.
Singkatnya ia makin dibenci dan dijauhi para aristokrat dan juga segenap rakyat Mataram. Tahun 1677, pemberontakan Trunojoyo berhasil menguasai Istana Plered dan memaksa Amangkurat I melarikan diri sampai wafat di daerah Tegalarum, Ajibarang, Tegal. Trunojoyo menjarah Istana Plered dan meninggalkannya dalam keadaan porak poranda dan rusak berat. Setelah itu Plered juga diwarnai perang saudara perebutan tahta sehingga membuatnya luluh lantak. Belakangan setelah Pangeran Adipati Anom mutlak naik tahta dengan gelar Amangkurat II, ia memindahkan ibukota ke daerah Kertasura karena wilayah Plered sudah dianggap sial dan penuh kutukan.  

Tahun 1826
Reruntuhan tembok besar Istana Plered menjadi ajang pertempuran antara 2.000 pasukan Pangeran Dipanegara dengan 4.200 pasukan Belanda dalam rangkaian Perang Jawa. Reruntuhan itu menjadi benteng batu terakhir bagi pasukan Pangeran Dipanegara dimana pasukan pangeran kalah telak dan dibantai dengan brutal di antara dinding-dinding, sawah, dan semak-semak. Apakah kutukan itu masih bertahan sampai saat itu? Wallahu a’lam
Namun kini bangunan hebat dari masa Amangkurat I semuanya sudah rata dengan tanah dan hanya menyisakan beberapa reruntuhan. Yang lumayan bisa terlihat hanyalah bangunan paling akhir yang didirikannya di Gunung Kelir untuk memuliakan makam Ratu Malang istri tercintanya yang dinamakan dengan Astana Antakapura atau Istana Kematian. Plered menjadi salah satu ajang imajinasi saya tentang sebuah kota Jawa tradisional yang indah dengan tata kota yang apik terlepas dari kisah apapun yang mengiringinya. 

Gambar Ibukota Plered
Di caption Instagram saya menulis:
“Kutagara Plered, dibangun pada tahun 1647 oleh Susuhunan Amangkurat I putra penguasa terbesar Dinasti Mataram Islam di tanah Jawa, Sultan Agung Hanyakrakusuma. Saya belum mengakses Babad Momana, Babad Sengkala, ataupun Serat Kandha untuk menggambar kota ini agar lebih dekat kepada bentuknya yang asli, demikian pula sumber dari penulis Belanda seperti laporan H.J. De Graaf. Jadi mohon maklumilah jika banyak kesalahan dimana-mana. Menurut saya, kota ini adalah ibukota Mataram Islam yang paling indah dan paling megah meskipun sekarang tebaran bekas-bekasnya hanya sedikit yang tersisa.
Diselesaikan pada Sabtu Saniscara/Pon, 16 Ruwah 1950 / 16 Syaban 1438 H / 13 Mei 2017 mangsa Karolas Asuji, ing Ndalemipun Eyang Sugimin Demangan Kidul Ngayogyakarta Hadiningrat.

Ya jadi ceritanya begitu. Haha.
Sampai hari ini saya juga belum-belum berkesempatan ke Plered. Saya mengandalkan imajinasi, membaca beberapa buku dan blog, juga kartografi lama tentang Plered Amangkurat I. Sebetulnya saya menggambar ini setelah saya membaca novel Gadis-gadis Amangkurat yang sedang ngetrend di kalangan teman-teman pada waktu itu. Ada beberapa gambar lagi yang direncanakan yang akan dibuat dengan tema Mataram Islam secara umum atau Yogyakarta Hadiningrat pada khususnya. Setelah dulu Masjid Agung Mataram Kotagede, Kuthagara Plered, lalu apalagi? Wkwk, masih direncanakan dan sudah ada dalam draft.
Pelan-pelan.  

Btw behind the art yg ini panjang bat dah ^^’

Jumat, 03 Juni 2016

PANORAMA MASJID KOTAGEDE



Sebelum menggambar ini saya sempat kepikiran untuk menggambar pemakaman Baqi’ Al-Gharqad di Madinah, pemakaman Jannatul Ma’la (Sayyidah Khadijah-Ummul Mukminin Radhiyallahu anha ) di Makkah  dan  pemakaman Zanbal: pemakaman para waliyullah di Hadhramaut. Serius, saya sudah riset tentang manuskrip gambar-gambar makam Baqi dari ilustrasi-ilustrasi miniatur yang ada di kitab Futuh al-Haramayn karya Syaikh Muhyiddin Lari, googling foto-foto lama pekuburan Ma’la, juga ngamatin dengan jeli Google Earth untuk mengira-ngira letak makam-makam penting di Zanbal. Kertas sudah disiapkan dan beberapa scan manuskrip sudah diprint sebagai panduan (mestinya ini nggak perlu). 

                Tapi nasib berkata lain (1)
                Saya teringat bahwa sejak beberapa tahun lalu setelah saya ziarah ke Makam Para Raja Mataram Islam di Imogiri, saya sudah berazam akan membuat ilustrasi makam suci itu. Cat airnya harus dicampur air yang saya minta dari gentong-gentong keramat di sana dan untuk keperluan itu saya masih menyimpan baik-baik air tersebut demikian pula buku panduan ziarah yang saya beli di sekitaran makam karena ada bagian buku yang memaparkan denah makam berikut siapa saja yang dimakamkan di situ.  

                Tapi nasib berkata lain (2) 
                Sebelum bulan suci Ramadhan kemarin saya sempat membaca beberapa buku tentang keraton, Perang Jawa, Kesultanan Mataram Islam, pusaka-pusaka, perbukuan di lingkup keraton Jogja, dan tema-tema lain sekitar itu (jangan tanya tentang Kidung Lelembut, saya nggak tahu). Ditambah setahun lalu polemik tentang suksesi Keraton Jogja membuat banyak media lokal mengangkat kembali tema-tema seputar Panembahan Senopati dan Ki Ageng Pemanahan sehingga  animo masyarakat untuk menggali lebih dalam tentang sejarah Keraton Jogja lumayan ngetrend waktu itu. Saya juga demikian, ikut trend :v . Sampai kemudian saya berkesimpulan bahwa ada yang lebih tua, lebih sakral, lebih keramat, lebih suci, lebih dihormati, dan lebih dimuliakan jauh sebelum terjadinya palihan nagari atau terpecahnya Kesultanan Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta. 


                Kotagede, dimana para leluhur pendiri Mataram Islam beristirahat dalam damai. 

                Tahun lalu saya sempat berkeliling di sekitar komplek makam itu bersama Miko, Huft, Shafa, dan Ruqo,  pada saat menunggu buka puasa bersama di rumah Ruqo seputaran makam Hastarengga dan komplek Watu Gilang Kotagede. Saat itu ya cuman jalan-jalan biasa, My Njiarah My Adventure semacam itu. Ingatan tentang hal itu saya rasa belum cukup untuk menggambar. Saya butuh riset sehingga saya ingat bahwa beberapa tahun lalu untuk keperluan sketsa saya juga kesana sama Fahmi. Cari folder fotonya dan googling sana-sini. Selain itu saya juga bertanya ke Gratama Pustaka dimana saya bisa mengakses peta atau dokumen lawas tentang pemakaman Kotagede di zaman Raffles, atau paling nggak zaman Belanda lah. Selain itu saya juga sangat terbantu dengan buku Panduan Jelajah Kota-kota Pusaka di Indonesia karya Emile Leushuis.  

                Akhir-akhir bulan Sya’ban kemarin saya mulai nyeket gambarnya dan selama bulan suci Ramadhan (Ramelan) mengerjakan pewarnaan dan perbaikan sana-sini. Saya dikritik Huft saat pengerjaan gambar ini karena dirasa mengenakan pakaian yang kurang pantas saat mengerjakannya.
                “Yo le klambenan ki sing apik!”

                Saya nyengir karena saya nggak mau gambar ini jadi bernilai ada mistik-mistiknya dengan menyertakan aturan apapun yang berhubungan dengan kesakralan seperti penulisan banyak karya sastra Jawa yang dikeramatkan. Selain karena menurut saya dalam pewarnaan langitnya saya sedikit menyimpang dari aturan dan tata cara pewarnaan para guru miniatur, saya rasa gambar ini juga belum bisa dikatakan sempurna dan bagus. 

        Walhasil, gambar ini diselesaikan pada hari keramat menurut penanggalan Jawa, pada malam Jemuwah Kliwon (Jum’at Kliwon) , 23 Syawwal tahun Jimawal 1949/ 1437 hijrahe Kanjeng Rasulullah Shallallaahu alaihi wa aalihi wa sallam, mongso Kasa Kartika ing Ngayogyakarta Hadiningrat.

            Sebulan lebih sedikit. 

            Haduh.

MAJELIS MINUM KOPI

Akhirnya miniatur tentang minum-minum kopi selesai juga. 

Sebenarnya sketsa gambar ini sendiri sudah digarap dari tahun lalu (wogh!) yang terbengkalai karena saya sok sibuk dengan banyak kegiatan yang entah kenapa semuanya ditarget dengan tenggat waktu yang edan-edanan. Inspirasinya dari sebuah syair tentang kopi karya seorang ulama kenamaan asal Yaman: Al-Habib Abu Bakr bin Abdulloh al-Idrus rahimahullah ta'ala. 

Beliau mengungkapkan pujiannya pada sensasi ngopi-ngopi dengan untaian syair yang salah satunya berbunyi:

قَهْوَةُ الْبُنِّ يَا أَهْلَ الْغَرَامْ سَاعَدَتْنِيْ عَلَى طَرْدِ الْمَنَامْ
وَ أَعَانَتْنِيْ بِعَوْنِ اللهِ عَلى طَاعَةِ اللهِ وَ الْعَالَمُ نِيَام
قَافُهَا الْقُوْتُ وَ الْهَاءُ الْهُدَى وَاوُهَا الْوُدُّ وَ الْهَاءُ هِيَامْ
لاَ تَلُوْمُوْنِيْ عَلَى شُرْبِيْ لَهَا إِنَّهَا شُرْبُ سَادَاتٍ كِرَامٍ


“Adapun kopi, wahai orang-orang yang asyik dalam cinta sejati dengan-Nya, membantuku mengusir kantuk
Dengan pertolongan Allah, kopi menggiatkanku taat beribadah kepada-Nya di kala orang-orang sedang terlelap.
Qahwah (kopi), huruf qaf-nya bermakna quut (sayur hijau yang menyenangkan), ha-nya adalah hudaa (petunjuk), wawu-nya adalah wud (cinta), dan ha-nya adalah hiyam (pengusir kantuk).
Janganlah kau mencelaku karena aku minum kopi, sebab kopi adalah minuman para junjungan yang mulia"

                Selain itu saya juga terpacu untuk menggambarkan situasi ngopi setelah membaca-baca kembali sebuah artikel tentang sejarah perkafean di dunia Islam yang dimuat dalam Aramco World vol 6 no. 3 tahun 2013 silam yang disebut-sebut sebagai pelopor jejaring sosial bagi masyarakat muslim. Artikel itu memuat sebuah gambar miniatur yang mengilustrasikan suasana kafe pada zaman Dinasti Utsmani –dimana interaksi sosial terjadi dalam suasana yang hangat. Persis seperti yang digambarkan oleh Jason Goodwin mengenai kafe-kafe di Istanbul dalam serial detektif Yashim yang hidup di era Utsmani. 

                Karena saya tidak ingin menggambarkan suasana kafe (karena sudah ada di miniatur itu) maka saya mencoba menggambarkan suasana majelis agama dengan suguhan kopi yang mana sampai hari ini di Yaman sendiri acapkali disuguhkan gelas-gelas kecil berisi kopi bagi para jamaah yang hadir. Sensasi ngopi sambil menikmati suasana ilmiah pembahasan kitab-kitab sampai hari ini juga masih dilestarikan para santri di pesantren-pesantren Nusantara, khususnya Jawa, dengan sebelumnya mengirim pahala bacaan alfatihah yang ditujukan khusus kepada para syaikh penemu dan pelestari budaya ngopi dengan menghaturkan tartibul-faatihah lisyurbil-qahwah (Pembacaan Al fatihah untuk Minum Kopi).  

                Jadi, angkat gelas kopinya, bismillah, dan seruputlah dengan nikmat. 

ثم اعلم ايها القلب المكروب أن هذه القهوه قد جعلها اهل الصفاء مجلبة للأسرار مذهبة للأكدار

"Kemudian, ketahuilah duhai hati yang merana, bahwa orang-orang saleh yang suci hatinya telah menjadikan kopi sebagai pengundang akan datangnya cahaya dan rahasia Tuhan, juga penghapus kesusahan"
(Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami rahimahullah)

Jumat, 27 Mei 2016

KEASYIKAN RISET

Sumber : Akun Instagram Moribayu


Ngomong-ngomong masalah kedisiplinan, saya adalah siswa yang tidak disiplin dalam belajar menggambar. Beberapa kali saya menggambar sebuah tema yang padahal hanya ukuran A4 tapi entah kenapa baru bisa finishing dua bulan atau bahkan yang lebih parah enam bulan kemudian. Sibuk, capek, males, dan sederet alasan lainnya sering saya jadikan tameng untuk  membenarkan diri saya sendiri untuk tidak melanjutkan gambar yang tengah saya buat. Padahal apasih?, saya sibuk-sibuk banget juga enggak. Secapek-capeknya saya masih bisa bbman juga, atau semales-malesnya saya ya masih sempat nonton film juga di laptop. But wait!, di atas itu semua, sebelum berangkat ke perpustakaan saya toh juga masih berusaha menyempatkan diri untuk nyeket atau coloring sambil menghabiskan kopi pagi. Lalu apa bisa dibilang saya tidak disiplin?

                “Tidak disiplin dan keasyikan riset!” 

                Itu yang saya sadari setelah sekian lama merenung kenapa saya tidak bisa menghasilkan karya secara kontinyu. 

                Memang sih, riset (baca buku dan googling ) adalah bagian penting yang mendahului semua gambar yang akan atau tengah saya buat. Itu lumrah menurut saya. Tapi dalam prakteknya saya sering tenggelam dalam riset itu sendiri. Misalnya saya pernah belajar menggambar portrait Sultan Akbar. Meluncurlah saya melihat-lihat miniatur mahakarya para empu miniatur Dinasti Mughal yang menggambarkan kehidupan sultan mereka yang hebat itu. Ketika ada link bagus tentang kontroversi kisah Joodha Bai dan Sultan Akbar, saya juga baca. Lalu ada filmnya saya tonton (ah ini bagus untuk melihat pakaian mereka secara real). Kemudian muncul lagi link tentang Din I Ilahi, malah saya baca. Ujung-ujungnya saya lalu terus membaca sampai Shah Jahan, Pangeran Dara Sikoh, Aurangzeb, Fatawa Alamgiri, dan bla bla bla bla bla bla bla bla kapan nggambarnya? *nangisketawa

                 Sampai pada saat kemarin saya ngulik akun Instagram salah seorang painter negeri tetangga yang sejak saya ikuti beberapa waktu lalu telah membuat saya jatuh hati pada keindahan gambar dan kerapian studionya: Moribayu . Seneng aja bisa menemukan akun-akun para ilustrator, sketcher, pelukis, atau miniaturis yang menginspirasi seperti beliau. Bukan saja pada pilihan warna atau gaya gambarnya, namun juga kedisiplinan dan keistiqomahan mereka berkarya. Luar biasa.

                Saya scroll sampai bawah untuk melihat karya beliau. Ada sebuah foto yang menohok saya untuk tidak terlalu banyak riset dan tenggelam dalam riset itu sendiri. Yah, karena saya terlalu ingin agar gambar saya benar-benar akurat sehingga terkadang menafikan imajinasi dan fantasi (padahal saya bukan penganut buta aliran realis). Atau mungkin karena saya terlalu banyak punya stok ingin tahu. 

                Intinya saya kagum dan takjub dengan gambar Mas Moribayu, dan tersindir keras dengan foto yang diatas itu. Salam hormat untuk Mas Moribayu. ^_^ 
-----------------------------------------------------------------------------------------
Instagram Moribayu

PURA MERU CAKRANEGARA

  Panorama Pura Meru Cakranegara. A4. Cat air pada kertas teh. [ Addopted ] Sebuah pura dengan pekarangan yang luas berdiri di sebelah selat...